Jumat, 06 Desember 2013

SYAIKHUNA AL-MUKAROM KH. MAUHAMMAD ADE MANSHUR

K.H. Ade Mansyur Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Al-Musri' Wafat
13 November 2013 pukul 5:42
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya di antara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang ia sebar luaskan, anak soleh yang ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang dibinanya, rumah yang dibinanya untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan, sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya" (HR. Ibnu Majah).

Sekitar tahun 1980-an akhir dan 1990-an awal, saat itu saya masih anak-anak, Aki (kakekku) dan Eunin (nenekku) dari pihak ayah beberapa kali mengajakku berkunjung dan menginap di kediaman anak perempuan dan bungsu mereka alias bibiku di areal kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda Al-Musri' pimpinan almarhum K.H. Ahmad Faqih yang terletak di Desa Kertajaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Dulu, kabarnya, ketika Mimi (panggilan saya kepada bibiku ini) masih remaja, beliau pernah nyantri di ponpes kaum Nadhliyin tersebut. Kemudian beliau dinikahi oleh salah satu anak Mama (panggilan almarhum K.H. Ahmad Faqih) yaitu K.H. Ade Mansyur. Maka K.H. Ade Mansyur pun menjadi pamanku dan biasa kupanggil Amang (paman), lebih jelasnya lagi Mang Ade Mansyur lantas Mang Haji Ade Mansyur.

Jadi dalam bibliografi hidupku, keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional bukanlah entitas yang asing, meski sulit pula jika saya klaim bahwa saya telah mengerti secara mendalam dan meluas mengenai lembaga pendidikan ini. Dan sejak menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Parijs van Java, pengertian saya tentang pesantren tradisional setelah mempelajari sejumlah studi tentangnya bukan saja bertambah, melainkan juga saya merasa semakin takjub, bangga, dan mengapresiasi tinggi akan keberadaan dan terutama peran yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan pesantren tradisional semacam Ponpes Miftahul Huda Al-Musri' ini.

Saya terkesan dengan ungkapan almarhum Gusdur, cucu Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy'ari sekaligus mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden RI ke-5, bahwa pesantren (tradisional) merupakan sub-kultur. Sedangkan para kyainya, dalam identifikasi Clifford Geertz, adalah culture broker (broker budaya alias pihak yang menghubungkan dan menyebarkan kebudayaan ke tengah-tengah masyarakat). Jezewski dalam Jezewski dan Sotnik (2001) memaknai tindakan culture broking sebagai “the act of bridging, linking or mediating between groups or persons of differing cultural backgrounds for the purpose of reducing conflict or producing change”. Tentu saja dalam kadar tertentu, Amang dan para alumni santri Ponpes Miftahul Huda Al-Musri pun merupakan culture broker yang mengerjakan culture broking.

Selain senang berada dalam lingkungan pesantren yang kaya nuansa relijius berupa belajar khazanah ilmu agama sekaligus mempraktikkannya, barangkali saya senang diajak pergi berkunjung oleh Aki dan Eunin ke rumah Mimi di Ponpes tersebut lantaran ada beberapa sepupu laki-laki yaitu anak dari Mimi yang umurnya tidak berbeda jauh denganku. Singkat kata, ada teman segenerasi dan bermain. Setiap saya ke sana biasanya kami bermain bersama. Namun, hal itu lebih sering kami lakukan sewaktu sepupu-sepupu saya berkunjung untuk berlibur di rumah Aki dan Eunin yang letaknya sangat berdekatan dengan rumah orang tuaku.

Terutama Aki. Beliau ini seorang kakek yang berjasa besar merekatkan keakraban di antara kami, cucu-cucunya. Beliau adalah pensiunan guru PNS yang rajin beribadah lagipula penyayang anak-anak. Seringkali saya dan sepupu-sepupu saya alias cucu-cucunya dibelikan bahkan lebih banyak dibuatkan mainan. Misalnya, mainan kuda-kudaan dan pistol-pistolan dari pelepah pisang, tembak-tembakan dari bambu kecil, perosotan dari cabang pohon kelapa, mobil-mobilan dari kayu, kelereng, dan seterusnya. Karena menyenangi permainan yang sama, maka kami pun menjadi merasa akrab sebagai saudara sepupu. Masih ingat dalam memori saya. Aki lah yang pernah bilang kalau sehabis bertengkar, cepat-cepatlah berdamai dengan bersalaman. Dan sejak itu, entah sudah berapa kali kami bertengkar lantas kami saling bersalaman tanda berdamai dan bermain bersama kembali.

Keluarga Mimi di Ponpes ini sangat baik kepada saudara-saudara Mimi dari pihak Aki dan Eunin maupun kepada para santrinya. Tidak aneh jika keponakan-keponakannya, baik yang perempuan maupun laki-laki, banyak yang nyantri sekaligus ikut tinggal di rumahnya. Selain mengaji, keponakan-keponakannya ini ikut membantu berbagai aktifitas di rumahnya dan di ponpes sekaligus mengembangkan keterampilan dan berwira usaha. Tidak sedikit yang telah dewasa dan selesai nyantri lalu menemukan belahan jiwanya di ponpes ini kemudian menikah serta memiliki keturunan. Bahkan beberapa keturunan mereka alias cucu Mimi ini seperti mengikuti jejak pendidikan orang tuanya, yakni belajar mengaji dan ikut tinggal di ponpes Miftahul Huda Al-Musri'. Di sini saya melihat ada bakat ngemong dan kebaikan alamiah dalam diri Mimi dan Amang sebagai syarat seorang pendidik.

Kalau tidak salah, ketika Mimi dan Amang berkunjung ke rumah Aki dan Eunin, sedangkan saya masih duduk di bangku SD atau SMP, saya ingat pernah bertanya kepada mereka, "Manawi Mimi dan Amang gaduh sumber elmu tasawuf (Barangkali Mimi dan Amang punya sumber ilmu tasawuf)?" Lalu mereka bilang, "Upami teu lepat mah, asa kagungan (Kalau tidak salah, punya). "Eungkin upami ka dieu deui, dicandak (Nanti kalau ke sini lagi akan dibawa)" Jawab Mimi. Beberapa minggu kemudian, mereka datang lagi dan memperlihatkan sebuah buku (kitab) tasawuf kepadaku. Hanya anehnya, dan polos, saya lalu malah tidak membacanya. Kelak, saya baru menyadari bahwa mereka benar-benar baik dan serius menyebarluaskan ilmu agama dari pesantren.

Ayahku memang tidak memiliki adik kandung laki-laki yang masih hidup. Artinya, dari pihak ayah, saya tidak memiliki paman yang sekandung dengan ayah. Saya lalu punya paman karena seorang pria menikahi bibi-bibiku. Dan Mang Haji Ade inilah satu dari tiga pamanku yang menikahi satu bibiku. Sejak kecil hingga remaja dan muda, beliau ini sudah belajar (nyantri) ke berbagai tempat dan banyak kyai. Lantas Mama memberinya tanggung jawab untuk sama-sama mengajar di Ponpes Miftahul Huda Al-Musri'. Kalau tidak salah, sepeninggal Mama, Mang Haji Ade lantas menjadi Ketua Bidang Pendidikan di Ponpes ini. Beliau mengajarkan beberapa ilmu agama. Namun, kemudian beliau mengambil dan dikenal dalam spesifikasi keahlian ilmu waris.

Sejak beberapa bulan yang lampau, saya mendapat kabar dan melihat beliau terkena serangan penyakit diabetes. Penyakitnya parah. Bukan saja kesulitan beranjak dari rumah, bahkan sebagian kulit kaki dan tangannya melepuh. Usai saya dengar beliau sudah bisa berjalan, meski hanya dari kamar ke ruang tamu, maka dua pekan yang lampau, saya mengunjungi lalu curhat sekaligus berkonsultasi kepada beliau. Beliau menerangkan pemahamannya dan membesarkan hatiku. Lantas di akhir perbincangan kami, beliau berujar kepada Mimi. "Mi, ieu kulitna guntingeun (Mi, ini kulitnya harus digunting)" katanya sambil memperlihatkan kulit kakinya yang mengelupas akibat terserang keganasan diabetes. Mimi lalu kulihat mengambil gunting dan memotongnya dengan hati-hati. Saya sendiri hanya tertegun dan mendoakan dalam hati. Saya tidak menyangka sedikit pun bahwa penyakitnya kali ini akan menjadi syari'at wafatnya beliau. Seingat saya sejak dulu beliau beberapa kali pernah menderita beberapa penyakit fisik. Tetapi lalu sembuh lagi.

Malam Senin, 10 November 2013, saya kembali berkunjung ke rumah sepupuku di Ponpes Miftahul Huda Al-Musri'. Seperti beberapa kunjunganku sebelumnya sejak sepupuku ini menikah dan punya tempat tinggal sendiri, tidak jarang saya berkunjung ke sana beberapa malam untuk bertemu dan berbincang tetapi tidak menemui Mimi dan Amang. Hingga kemarin siang, ketika baru saja bangun tidur setelah semalaman begadang. Terlihat di luar kamar para alumni Ponpes sedang berkumpul dan bercengkrama. Saya mandi dan shalat duhur lalu membaca dua surat dalam juz ke-30 Al-Qur'an. Selanjutnya kudengar suara orang di luar kamar sedang berbincang melalui pesawat ponselnya. Setelah itu ia beranjak meninggalkan rumah seraya berkata, "Eungke, urang ka dieu deui (Nanti saya ke sini lagi)".

Saya lalu menyapu dan sedikit membereskan kamar. Saat sedang menyapu inilah, saya bertemu dengan sepupuku yang juga baru bangun tidur setelah dini hari tadi tiba dari mengantar sepupunya yang lain, ke Bandung. Dan rupanya (ini baru kutahu kemarin siang), setibanya kemarin dini hari, alih-alih ada di rumah, ia malah lalu meneruskan pergi subuh hari mengantar ayahnya alias Amang ke Rumah Sakit Sayang Kabupaten Cianjur. Karena mengantuk, kabarnya kemudian, ia sebentar saja di rumah sakit, lalu memilih pulang dulu untuk tidur dengan niat akan kembali lagi. Akan tetapi, ketika saya akan menyelesaikan menyapu siang itu, istrinya mengabarkan bahwa Amang telah wafat di rumah sakit. "Hah?" Saya bilang, spontan, nyaris tak percaya. Segera saya berjalan cepat ke rumah Amang dan Mimi. Tampak sepi dan hanya ada dua orang alumni muda tengah berdiri dan memegang ponselnya. Mereka bilang bahwa Amang dan Mimi di rumah sakit.

Sejam kemudian, setelah membereskan persiapan untuk memandikan dan mengkafani mayat, saya lihat para penghuni Ponpes tampak berkumpul di halaman pondok ketika mobil ambulan tiba bersama pekik sirinenya yang mengiung. Mimi keluar dari mobil berwarna putih itu. Saya menyalaminya. Berikutnya diturunkan dengan dibopong seonggok tubuh terkulai pria berumur 50 tahunan. Ialah jasad Amang yang telah wafat beberapa jam lalu. Saya turut membopong bersama pria lainnya. Beres dikafani, jasad Amang diangkat estafet dalam jarak sekitar 100 meter dari rumahnya ke masjid Ponpes. Ratusan orang berjama'ah shalat ashar dilanjutkan shalat sunat jenazah. Menjelang magrib, mayat dikuburkan. Do'a dan isak tangis melepas kepergian almarhum K.H. Ade Mansyur bin K.H. Ahmad Faqih.

Akhirnya, semoga almarhum K.H. Ade Mansyur bin K.H. Ahmad Faqih husnul khotimah dan menjadi ahli surga lantaran perpaduan antara ke-Maha Adilan Allah SWT dan amal benar dan baiknya, baik amal benar dan baik beliau yang hanya berpahala sewaktu masih hidup maupun amal benar dan baik yang pahalanya terus mengalir (sebagaimana keterangan dari hadits riwayat Ibnu Majah yang saya kutip dalam permulaan tulisan ini). Tentu saja, semoga keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkannya selalu bersabar dan ikhlas melepas beliau. Semoga tradisi beramal benar dan baik selalu berregenerasi. Aamiin yarobbal Aalamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar