K.H.
Ade Mansyur Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Al-Musri' Wafat
13 November 2013 pukul 5:42
Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya di antara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah
orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang ia sebar luaskan, anak soleh yang
ditinggalkannya, mushaf (kitab-kitab keagamaan) yang diwariskannya, masjid yang
dibinanya, rumah yang dibinanya untuk penginapan orang yang sedang dalam
perjalanan, sungai yang dialirkannya untuk kepentingan orang banyak, dan harta
yang disedekahkannya" (HR. Ibnu Majah).
Sekitar tahun 1980-an akhir dan
1990-an awal, saat itu saya masih anak-anak, Aki (kakekku) dan Eunin (nenekku)
dari pihak ayah beberapa kali mengajakku berkunjung dan menginap di kediaman
anak perempuan dan bungsu mereka alias bibiku di areal kompleks Pondok
Pesantren (Ponpes) Miftahul Huda Al-Musri' pimpinan almarhum K.H. Ahmad Faqih
yang terletak di Desa Kertajaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Dulu,
kabarnya, ketika Mimi (panggilan saya kepada bibiku ini) masih remaja, beliau
pernah nyantri di ponpes kaum Nadhliyin tersebut. Kemudian beliau dinikahi oleh
salah satu anak Mama (panggilan almarhum K.H. Ahmad Faqih) yaitu K.H. Ade
Mansyur. Maka K.H. Ade Mansyur pun menjadi pamanku dan biasa kupanggil Amang
(paman), lebih jelasnya lagi Mang Ade Mansyur lantas Mang Haji Ade Mansyur.
Jadi dalam bibliografi hidupku,
keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional bukanlah entitas
yang asing, meski sulit pula jika saya klaim bahwa saya telah mengerti secara
mendalam dan meluas mengenai lembaga pendidikan ini. Dan sejak menimba ilmu di
sebuah perguruan tinggi negeri di kota Parijs van Java, pengertian saya
tentang pesantren tradisional setelah mempelajari sejumlah studi tentangnya
bukan saja bertambah, melainkan juga saya merasa semakin takjub, bangga, dan
mengapresiasi tinggi akan keberadaan dan terutama peran yang sudah, sedang, dan
akan dikerjakan pesantren tradisional semacam Ponpes Miftahul Huda Al-Musri'
ini.
Saya terkesan dengan ungkapan
almarhum Gusdur, cucu Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy'ari sekaligus mantan Ketua
Umum PBNU dan Presiden RI ke-5, bahwa pesantren (tradisional) merupakan
sub-kultur. Sedangkan para kyainya, dalam identifikasi Clifford Geertz, adalah culture
broker (broker budaya alias pihak yang menghubungkan dan menyebarkan
kebudayaan ke tengah-tengah masyarakat). Jezewski dalam Jezewski dan Sotnik
(2001) memaknai tindakan culture broking sebagai “the act of
bridging, linking or mediating between groups or persons of differing cultural
backgrounds for the purpose of reducing conflict or producing change”.
Tentu saja dalam kadar tertentu, Amang dan para alumni santri Ponpes Miftahul
Huda Al-Musri pun merupakan culture broker yang mengerjakan culture broking.
Selain senang berada dalam
lingkungan pesantren yang kaya nuansa relijius berupa belajar khazanah ilmu
agama sekaligus mempraktikkannya, barangkali saya senang diajak pergi
berkunjung oleh Aki dan Eunin ke rumah Mimi di Ponpes tersebut
lantaran ada beberapa sepupu laki-laki yaitu anak dari Mimi yang umurnya
tidak berbeda jauh denganku. Singkat kata, ada teman segenerasi dan bermain.
Setiap saya ke sana biasanya kami bermain bersama. Namun, hal itu lebih sering
kami lakukan sewaktu sepupu-sepupu saya berkunjung untuk berlibur di rumah Aki
dan Eunin yang letaknya sangat berdekatan dengan rumah orang tuaku.
Terutama Aki. Beliau ini seorang
kakek yang berjasa besar merekatkan keakraban di antara kami, cucu-cucunya.
Beliau adalah pensiunan guru PNS yang rajin beribadah lagipula penyayang
anak-anak. Seringkali saya dan sepupu-sepupu saya alias cucu-cucunya dibelikan
bahkan lebih banyak dibuatkan mainan. Misalnya, mainan kuda-kudaan dan
pistol-pistolan dari pelepah pisang, tembak-tembakan dari bambu kecil,
perosotan dari cabang pohon kelapa, mobil-mobilan dari kayu, kelereng, dan
seterusnya. Karena menyenangi permainan yang sama, maka kami pun menjadi merasa
akrab sebagai saudara sepupu. Masih ingat dalam memori saya. Aki lah yang
pernah bilang kalau sehabis bertengkar, cepat-cepatlah berdamai dengan bersalaman.
Dan sejak itu, entah sudah berapa kali kami bertengkar lantas kami saling
bersalaman tanda berdamai dan bermain bersama kembali.
Keluarga Mimi di Ponpes ini sangat
baik kepada saudara-saudara Mimi dari pihak Aki dan Eunin maupun kepada para santrinya.
Tidak aneh jika keponakan-keponakannya, baik yang perempuan maupun laki-laki,
banyak yang nyantri sekaligus ikut tinggal di rumahnya. Selain mengaji,
keponakan-keponakannya ini ikut membantu berbagai aktifitas di rumahnya dan di
ponpes sekaligus mengembangkan keterampilan dan berwira usaha. Tidak sedikit
yang telah dewasa dan selesai nyantri lalu menemukan belahan jiwanya di ponpes
ini kemudian menikah serta memiliki keturunan. Bahkan beberapa keturunan mereka
alias cucu Mimi ini seperti mengikuti jejak pendidikan orang tuanya, yakni
belajar mengaji dan ikut tinggal di ponpes Miftahul Huda Al-Musri'. Di sini
saya melihat ada bakat ngemong dan kebaikan alamiah dalam diri Mimi dan Amang
sebagai syarat seorang pendidik.
Kalau tidak salah, ketika Mimi dan
Amang berkunjung ke rumah Aki dan Eunin, sedangkan saya masih duduk di bangku
SD atau SMP, saya ingat pernah bertanya kepada mereka, "Manawi Mimi dan
Amang gaduh sumber elmu tasawuf (Barangkali Mimi dan Amang punya sumber ilmu
tasawuf)?" Lalu mereka bilang, "Upami teu lepat mah, asa kagungan
(Kalau tidak salah, punya). "Eungkin upami ka dieu deui, dicandak (Nanti
kalau ke sini lagi akan dibawa)" Jawab Mimi. Beberapa minggu kemudian,
mereka datang lagi dan memperlihatkan sebuah buku (kitab) tasawuf kepadaku.
Hanya anehnya, dan polos, saya lalu malah tidak membacanya. Kelak, saya baru
menyadari bahwa mereka benar-benar baik dan serius menyebarluaskan ilmu agama
dari pesantren.
Ayahku memang tidak memiliki adik
kandung laki-laki yang masih hidup. Artinya, dari pihak ayah, saya tidak
memiliki paman yang sekandung dengan ayah. Saya lalu punya paman karena seorang
pria menikahi bibi-bibiku. Dan Mang Haji Ade inilah satu dari tiga pamanku yang
menikahi satu bibiku. Sejak kecil hingga remaja dan muda, beliau ini sudah
belajar (nyantri) ke berbagai tempat dan banyak kyai. Lantas Mama memberinya
tanggung jawab untuk sama-sama mengajar di Ponpes Miftahul Huda Al-Musri'.
Kalau tidak salah, sepeninggal Mama, Mang Haji Ade lantas menjadi Ketua Bidang
Pendidikan di Ponpes ini. Beliau mengajarkan beberapa ilmu agama. Namun,
kemudian beliau mengambil dan dikenal dalam spesifikasi keahlian ilmu waris.
Sejak beberapa bulan yang lampau,
saya mendapat kabar dan melihat beliau terkena serangan penyakit diabetes.
Penyakitnya parah. Bukan saja kesulitan beranjak dari rumah, bahkan sebagian
kulit kaki dan tangannya melepuh. Usai saya dengar beliau sudah bisa berjalan,
meski hanya dari kamar ke ruang tamu, maka dua pekan yang lampau, saya
mengunjungi lalu curhat sekaligus berkonsultasi kepada beliau. Beliau
menerangkan pemahamannya dan membesarkan hatiku. Lantas di akhir perbincangan
kami, beliau berujar kepada Mimi. "Mi, ieu kulitna guntingeun (Mi, ini
kulitnya harus digunting)" katanya sambil memperlihatkan kulit kakinya
yang mengelupas akibat terserang keganasan diabetes. Mimi lalu kulihat
mengambil gunting dan memotongnya dengan hati-hati. Saya sendiri hanya tertegun
dan mendoakan dalam hati. Saya tidak menyangka sedikit pun bahwa penyakitnya
kali ini akan menjadi syari'at wafatnya beliau. Seingat saya sejak dulu beliau
beberapa kali pernah menderita beberapa penyakit fisik. Tetapi lalu sembuh
lagi.
Malam Senin, 10 November 2013, saya
kembali berkunjung ke rumah sepupuku di Ponpes Miftahul Huda Al-Musri'. Seperti
beberapa kunjunganku sebelumnya sejak sepupuku ini menikah dan punya tempat
tinggal sendiri, tidak jarang saya berkunjung ke sana beberapa malam untuk
bertemu dan berbincang tetapi tidak menemui Mimi dan Amang. Hingga kemarin
siang, ketika baru saja bangun tidur setelah semalaman begadang. Terlihat di
luar kamar para alumni Ponpes sedang berkumpul dan bercengkrama. Saya mandi dan
shalat duhur lalu membaca dua surat dalam juz ke-30 Al-Qur'an. Selanjutnya
kudengar suara orang di luar kamar sedang berbincang melalui pesawat ponselnya.
Setelah itu ia beranjak meninggalkan rumah seraya berkata, "Eungke, urang
ka dieu deui (Nanti saya ke sini lagi)".
Saya lalu menyapu dan sedikit
membereskan kamar. Saat sedang menyapu inilah, saya bertemu dengan sepupuku
yang juga baru bangun tidur setelah dini hari tadi tiba dari mengantar
sepupunya yang lain, ke Bandung. Dan rupanya (ini baru kutahu kemarin siang),
setibanya kemarin dini hari, alih-alih ada di rumah, ia malah lalu meneruskan
pergi subuh hari mengantar ayahnya alias Amang ke Rumah Sakit Sayang Kabupaten
Cianjur. Karena mengantuk, kabarnya kemudian, ia sebentar saja di rumah sakit,
lalu memilih pulang dulu untuk tidur dengan niat akan kembali lagi. Akan
tetapi, ketika saya akan menyelesaikan menyapu siang itu, istrinya mengabarkan
bahwa Amang telah wafat di rumah sakit. "Hah?" Saya bilang, spontan,
nyaris tak percaya. Segera saya berjalan cepat ke rumah Amang dan Mimi. Tampak
sepi dan hanya ada dua orang alumni muda tengah berdiri dan memegang ponselnya.
Mereka bilang bahwa Amang dan Mimi di rumah sakit.
Sejam kemudian, setelah membereskan
persiapan untuk memandikan dan mengkafani mayat, saya lihat para penghuni
Ponpes tampak berkumpul di halaman pondok ketika mobil ambulan tiba bersama
pekik sirinenya yang mengiung. Mimi keluar dari mobil berwarna putih itu. Saya
menyalaminya. Berikutnya diturunkan dengan dibopong seonggok tubuh terkulai
pria berumur 50 tahunan. Ialah jasad Amang yang telah wafat beberapa jam lalu.
Saya turut membopong bersama pria lainnya. Beres dikafani, jasad Amang diangkat
estafet dalam jarak sekitar 100 meter dari rumahnya ke masjid Ponpes. Ratusan
orang berjama'ah shalat ashar dilanjutkan shalat sunat jenazah. Menjelang
magrib, mayat dikuburkan. Do'a dan isak tangis melepas kepergian almarhum K.H. Ade
Mansyur bin K.H. Ahmad Faqih.
Akhirnya, semoga almarhum K.H. Ade
Mansyur bin K.H. Ahmad Faqih husnul khotimah dan menjadi ahli surga
lantaran perpaduan antara ke-Maha Adilan Allah SWT dan amal benar dan baiknya,
baik amal benar dan baik beliau yang hanya berpahala sewaktu masih hidup maupun
amal benar dan baik yang pahalanya terus mengalir (sebagaimana keterangan dari
hadits riwayat Ibnu Majah yang saya kutip dalam permulaan tulisan ini). Tentu
saja, semoga keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkannya selalu bersabar
dan ikhlas melepas beliau. Semoga tradisi beramal benar dan baik selalu
berregenerasi. Aamiin yarobbal Aalamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar